Perkenalkan nama lengkapku Tita Indah Sari, namun aku biasa dipanggil
Tita oleh teman-temanku. Saat ini aku bekerja di sebuah Bank asing yang
cukup ternama di daerah Sudirman. Sejak lahir hingga sekarang aku sudah
tinggal bersama keluargaku di daerah Cibubur. Aku adalah anak sulung
dari empat bersaudara. Aku memiliki dua orang adik perempuan, Winnie dan
Dewi, serta satu adik laki-laki yang bernama Amar. Ayahku adalah orang
Betawi asli, sedangkan Ibuku merupakan keturunan Sunda.
Karena ini adalah kisahku dengan adikku yang laki-laki, tanpa melibatkan
adik-adikku yang lain, maka aku hanya akan menceritakan tentang kami
berdua saja. Secara fisik aku memiliki tinggi badan 157 cm, kulit yang
cukup putih, serta wajah yang menurut kebanyakan teman-temanku manis dan
imut. Bahkan sampai sekarang aku masih sering dianggap lebih muda dari
umurku saat ini. Sedangkan adikku Amar, berkulit sawo matang, kurus dan
tingginya sekitar 175 cm. Walaupun wajahnya terbilang biasa-biasa saja,
di usianya yang berjarak 5 tahun denganku, dia sudah cukup sering
berganti pacar.
Mungkin karena Amar adalah anak laki-laki satu-satunya dia diperlakukan
berbeda oleh kedua orang tua kami. Namun karena sering dimanja seperti
itulah, Amar menjadi anak yang suka melawan, sering bolos kuliah dan
juga tidak mau mendengarkan nasehat dari orang lain termasuk
keluarganya. Hingga pada suatu hari segalanya berubah. Yang pasti hari
tersebut tidak akan pernah dapat terlupakan bagi aku dan dirinya.
Kisah ini berawal pada suatu sore saat kedua orang tua dan adik-adikku
yang perempuan sedang berkunjung ke rumah nenekku, jadi di rumah hanya
tinggal aku beserta adik laki-lakiku yang sedang tidak ada jadwal
kuliah. Pada hari itu aku memang tidak bekerja karena libur dan juga
sedang tidak ada rencana pergi dengan pacarku. Karena sedang berada di
rumah, aku hanya memakai kaos putih tanpa bra dan dipadukan dengan
celana pendek di atas lutut warna biru muda yang memperlihatkan sebagian
paha mulusku.
Saat itu aku sedang mengobrol dengan pacarku melalui HP. Kami berdua
membicarakan berbagai hal, mulai dari masalah serius hingga yang ringan.
Tanpa terasa sudah lebih dari 1 jam aku berbicara dengannya. Sampai
akhirnya aku tidak dapat tahan lagi untuk buang air kecil. Aku pun
meminta ijin kepada pacarku untuk menyudahi pembicaraan kami terlebih
dahulu dan berjanji akan menghubunginya kembali. Setelah meletakkan HP,
dengan terburu-buru aku berlari menuju ke kamar mandi yang jaraknya
paling dekat, ketika kubuka gagang pintunya ternyata sedang dikunci dari
dalam.
“Amar bukain pintunya dong…!! Teteh udah nggak tahan mau pipis nih…!!” aku berteriak sambil menggedor-gedor pintu.
“Tunggu ya Teh! Amar sebentar lagi selesai kok…!” terdengar suara adikku dari dalam kamar mandi.
“Aduh Mar!! Teteh udah kebelet nih…!! Cepetan dong keluar…!!” kataku
memaksa sambil terus menggedor-gedor pintu karena aku sudah benar-benar
tidak kuat lagi menahan air seniku.
‘Kreekk…’ terbuka sedikit pintu kamar mandi kemudian kepala Amar mengintip dari celahnya.
“Teteh nggak sabaran banget sih!?” kata Amar dengan nada kesal karena mandinya jadi terganggu.
Tanpa memperdulikan adikku yang sedang marah-marah, aku langsung memaksa
masuk ke dalam kamar mandi karena sudah tidak tahan untuk buang air
kecil. Dengan cepat aku menurunkan celana pendek beserta celana dalamku
kemudian jongkok di atas kloset.
“Aaaaahhh…” aku sungguh merasa lega karena akhirnya keluar juga air seni yang sudah kutahan-tahan dari tadi.
Sambil tetap meneruskan buang air kecil, aku sempat memperhatikan adikku
yang masih berdiri dengan kondisi telanjang bulat. Wajahnya terlihat
sangat kesal karena mandinya terganggu oleh aku yang sudah terlanjur
masuk ke dalam kamar mandi.
“Teteh ganggu orang lagi mandi aja nih…!!” teriak adikku sambil melotot.
“Maaf ya Mar, Teteh udah nggak kuat nahan pipis. Bentar lagi juga selesai kok…” kataku sambil meminta maaf.
Sebenarnya aku tidak mau memandang tubuh bagian bawah adikku. Tetapi
karena ingin membandingkan penis Amar dengan milik pacarku, akhirnya aku
menurunkan juga pandanganku.
“Hihihi… Masih kalah dengan penis pacarku…” aku tertawa dalam hati.
Karena takut tertangkap basah melihat penisnya, cepat-cepat kunaikkan
lagi pandanganku ke arah wajahnya. Ternyata mata adikku sudah tidak
melihat ke arah wajahku lagi, melainkan sedang memandangi vaginaku.
“Kurang ajar nih si Amar malah ngeliatin vaginaku!! Mana pipisku belum selesai lagi…” aku bersungut dalam hati.
Lalu aku menekan sekuat tenaga otot di vaginaku agar cepat selesai buang
air kecilnya. Tanpa sengaja, terlihat lagi penis adikku yang tidak
tertutup itu. Perlahan-lahan penisnya semakin naik sedikit demi sedikit,
namun masih tetap kelihatan kecil.
“Ternyata memek Teteh bentuknya kayak gitu yah?” kata adikku tiba-tiba sambil melihat ke arah vaginaku.
“Amaaaar…!! Jangan kurang ajar kamu yah…!!” aku yang dalam keadaan marah
langsung berdiri mengambil gayung kemudian kulemparkan ke arah adikku.
‘Duuuk…!!’ lemparanku memang mengenai tubuh adikku, tetapi hasilnya air seniku mengenai celana pendek serta celana dalamku.
“Aduuuh… Gara-gara Amar sih! Jadi basah deh celana Teteh…” aku marah-marah sambil melihat ke celana pendek dan celana dalamku.
“Syukurin! Makanya Teteh jangan maen masuk seenaknya aja…!” kata Amar sambil menjulurkan lidahnya ke arahku.
“Amar mandi lagi aah…” lanjutnya sambil mengambil gayung yang tadi aku
lempar ke arahnya, kemudian melanjutkan menyiram air ke badannya lalu
mulai mengusap sabun ke seluruh tubuhnya.
“Huuuh!! Ini anak cuek banget sih…!!” kataku dalam hati.
Waktu itu aku bingung harus bagaimana. Ingin keluar dari kamar mandi,
namun tentu saja aku tidak mau memakai celana pendek dan celana dalamku
yang sudah basah terkena air seniku. Akhirnya terlintas di pikiranku
untuk meminjam handuk milik adikku terlebih dahulu, nanti setelah
mengganti pakaian baru aku kembalikan handuknya.
“Teteh pinjem handuk Amar aja dulu…” kata adikku seolah-olah dapat membaca isi pikiranku.
“Iya deh…” jawabku singkat.
Tanpa ragu lagi, aku menurunkan celana pendek dan celana dalamku yang
berwarna merah muda. Karena teringat setelah buang air kecil tadi aku
belum sempat membersihkan vaginaku, maka aku mengambil gayung dari
tangan adikku lalu membasuh vaginaku dengan air. Karena tidak ingin
kalau Amar melihatku lebih lama dalam keadaan seperti ini, maka aku
membersihkan vaginaku tanpa menggunakan sabun.
Setelah merasa cukup bersih, aku pun berniat untuk meminjam handuk
adikku seperti yang tadi dia janjikan. Dan tepat seperti yang aku duga,
ternyata dia memang sedang memperhatikan tubuhku yang setengah
telanjang.
“Teh… Memek Teteh kok nggak ada bulunya sih? Hehehe…” katanya sambil tertawa meledek vaginaku yang memang baru aku cukur.
“Biarin aja! Daripada kecil kayak punya kamu Mar!” kataku membela diri sambil berusaha menutupi vaginaku dengan tangan.
“Emang Teteh udah pernah liat yang lebih gede dari ini?” tanya Amar yang sengaja memancingku.
“Y-ya nggak pernah lah!” jawabku sedikit gugup sambil berusaha memukul bahu adikku.
Tiba-tiba dia menghindar dari pukulanku “Weiiitts…!” katanya.
Karena aku memukul dengan sekuat tenaga, tanpa sengaja aku terpeleset
sehingga punggungku jatuh mengenai tubuhnya, sedangkan pantatku
menyentuh penisnya.
“Iiih… Rasanya geli banget…” kataku dalam hati.
Dengan segera aku menarik tubuhku sambil berkata “Uuuh… Gara-gara Amar sih…!!”
“Kata Teteh barusan kontol Amar kecil kan? Kalau kayak gini gimana?”
katanya mengacuhkan omonganku sambil menunjuk ke arah penisnya.
Kulihat penisnya mulai membesar seperti tadi, pelan-pelan semakin gemuk dan semakin tegak ke arah depan.
“Yeee…! Kalo gitu doang sih masih kayak anak kecil…!!” kataku berbalik mengejek dia.
Padahal jujur saja aku sempat terkejut juga melihat ukuran penis Amar
yang sudah cukup jauh dibandingkan awalnya. Di dalam hati aku ingin
mengetahui sampai seberapa panjang penisnya dapat bertambah.
“Tapi ini masih bisa digedein lagi Teh…” kata Amar seperti dapat mengetahui rasa penasaranku.
“Hah? Beneran Mar?” tanyaku sambil menatapnya.
“Iya Teh… Tapi untuk itu Amar butuh bantuan Teteh…” sahut adikku dengan wajah mesum.
“Bantuan apaan sih?” tanyaku yang sebenarnya sudah mengetahui apa yang diinginkan oleh adikku.
Tiba-tiba saja Amar menarik lenganku ke arah penis miliknya “Tangan Teteh taro aja di kontol Amar…”
“Teteh nggak mau ah Mar…!” dengan cepat aku menarik tanganku yang sempat menyentuh penisnya.
“Kenapa sih Teh? Emangnya Teteh nggak penasaran bisa sampe segede apa kontol Amar?” tanya adikku.
Sebenarnya aku sudah mau marah kepada adikku karena dari tadi dia selalu
memakai kata ‘memek’ dan ‘kontol’ yang terdengar sangat kasar di
telingaku, ditambah lagi sekarang dia menyuruhku untuk memegang
penisnya. Namun karena penasaran ingin melihat ukuran maksimal penis
milik adikku, maka aku memilih untuk menahan marah dan mengikuti
perkataannya tadi.
“Ya udah deh Teteh mau…” kataku setuju.
“Asyiiiiik!!” adikku berteriak kegirangan.
Aku memang merasa seperti dipermainkan oleh adikku. Tapi karena sudah
terlanjur menyanggupi permintaannya, maka aku mulai mendekatkan tanganku
ke arah penisnya. Namun belum sempat aku menaruh tanganku pada penis
Amar, benda tersebut sudah mulai bergerak dan semakin naik sedikit demi
sedikit. Diameter penisnya semakin membesar, begitu juga dengan
panjangnya yang ikut bertambah.
Aku benar-benar merasa terkejut sekaligus terangsang melihat itu semua.
Tidak lama kemudian kepala penisnya mulai berwarna merah.
“Gimana Teh? Kontol Amar udah lebih besar dari yang tadi kan?” tanya
adikku sambil melihat ke arah wajahku yang sedang takjub dengan ukuran
penisnya.
Ditanya seperti itu aku hanya dapat terdiam sambil terus melihat penis
adikku yang sekarang panjangnya kurang lebih mencapai 15 cm! Kini penis
adikku terlihat tegang sekali dan ukurannya sudah menyamai milik
pacarku. Aku jadi semakin terangsang melihatnya. Tentu saja aku yang
tidak ingin Amar sadar kalau aku tergoda melihat penisnya dengan segera
mengalihkan pandanganku ke arah wajahnya.
“Sekarang udah nggak kayak kontol anak kecil lagi kan Teh? Hehehe…” kata adikku sambil tertawa.
Belum sempat aku berkata apa-apa, tangan adikku tiba-tiba turun
menyentuh bagian selangkanganku. Walaupun aku merasa terangsang
diperlakukan seperti itu, tentu saja aku menepis tangannya.
“Amar apa-apaan sih!!” kataku sambil memasang wajah marah.
“Amar cuma mau pegang-pegang aja kok Teh. Janji deh nggak Amar
apa-apain. Amar cuma pengen tahu aja rasanya megang memek…” kata adikku
dengan memasang wajah memelas.
Kembali tangan adikku mendekati selangkanganku, tapi dia belum berani
memegang vaginaku lagi karena belum mendapat ijin dariku. Tadinya aku
berpikir untuk menolak permintaan adikku, walaupun pacarku yang sekarang
sudah pernah menyentuh vaginaku, namun tetap saja kali ini yang mau
memegangnya adalah adik kandungku sendiri. Sekalipun begitu aku juga
merasa sedikit lega, karena walaupun cukup sering bergonta-ganti pacar,
namun ternyata adikku tidak pernah terlampau jauh dalam hal berpacaran.
“Ya udah Teteh bolehin deh. Tapi inget! Amar cuma boleh pegang bagian
luarnya aja yah…” akhirnya aku mengiyakan karena adikku sudah berjanji
‘hanya’ akan memegang vaginaku saja.
Deg-degan sekaligus penasaran juga rasanya. Tangan adikku lalu semakin
mendekati kemaluanku yang halus tanpa bulu itu. Di saat bibir vaginaku
sudah tersentuh oleh tangannya aku merasa geli sekali. Aku melihat
penisnya sudah keras sekali, kini warna kepala penisnya jauh lebih
kehitaman dan lebih licin dibandingkan dengan sebelumnya. Hangatnya
tangan adikku sudah terasa melingkupi vaginaku. Geli sekali rasanya saat
bibir vaginaku tersentuh telapak tangannya. Geli-geli nikmat pada
syaraf vaginaku. Aku jadi semakin terangsang sehingga tanpa dapat
ditahan, vaginaku mengeluarkan cairan.
“Teteh terangsang ya?” tanya adikku.
“Enak aja…!! Mana bisa Teteh terangsang sama kamu Mar…” jawabku sambil
berusaha merapatkan vaginaku agar cairannya tidak semakin keluar.
“Ini memek Teteh kok sampe basah kayak gini?” selidiknya.
“Kamu jangan sok tau deh Mar! Itu kan sisa air pipis Teteh…” kataku berkilah.
“Teteh nggak usah bohongin Amar deh…” jawabnya.
“Iih… Siapa juga yang bohong? Emang beneran bukan kok…!” aku tetap tidak
mau mengakui kalau sentuhan tangannya semakin membuat birahiku naik.
“Teh… Memek Teteh tuh rasanya anget, empuk dan basah yah…” Kata adikku sambil terus memegang vaginaku.
“Emang kayak gitu Mar! Udah belum megangnya? Teteh pengen cepet keluar
dari kamar mandi nih…!” kataku seperti menginginkan situasi ini
berhenti.
Padahal sebenarnya aku sangat ingin tangan adikku tetap berada di
vaginaku. Bahkan aku berharap kalau tangannya juga mulai bergerak untuk
menggesek-gesek bibir vaginaku.
“Teh, Amar boleh gesek-gesek memek Teteh nggak?” pinta adikku yang sepertinya bisa mengerti keinginanku.
“Tuh kan! Tadi katanya cuma mau pegang-pegang aja…” aku pura-pura tidak mau.
“Gesek dikit aja kok Teh…! Boleh yaaa..!??” rengek adikku seperti anak kecil minta dibelikan mainan.
“Terserah Amar aja deh! Tapi Amar janji yah nggak akan bilang
siapa-siapa tentang kejadian ini…” aku pun akhirnya mengiyakan
permintaan adikku dengan hati berdebar-debar.
Amar pun mengangguk cepat tanda menyanggupi permintaanku barusan.
Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi tangan adikku semakin masuk
hingga aku merasa bibir vaginaku juga ikut terbawa ke dalam. Hampir saja
aku mendesah karena rasanya nikmat sekali. Otot di dalam vaginaku mulai
terasa berdenyut-denyut. Lalu adikku menarik tangannya keluar lagi,
bibir vaginaku pun jadi ikut tertarik.
“Aaaaaaahhh…” akhirnya keluar juga desahanku karena tidak sanggup lagi menahan rasa nikmat yang timbul pada vaginaku.
Saat ini badanku sungguh terasa lemas sekali hingga mulai mengarah jatuh
ke depan. Karena merasa tidak kuat berdiri, maka tanganku bertumpu pada
bahu adikku.
“Aaaahhh… Uuummhhh… Maaaaar…!!” tubuhku semakin panas dan tanpa sadar
aku melebarkan kedua pahaku supaya tangan Amar dapat lebih leluasa.
“Enak ya Teh memeknya Amar giniin…?” tanya adikku sambil terus menggesek-gesekan tangannya.
“I-Iyaahh… Enaaak bangeeet Maaar!! Aaaahhh…” jawabku jujur sambil memejamkan mata karena saking nikmatnya.
Tangan adikku lalu mulai maju dan mundur, kadang klitorisku tersentuh
oleh telapak tangannya. Tiap tersentuh rasanya nikmat luar biasa, badan
ini akan tersentak ke depan. Jari-jari adikku juga sekarang sudah mulai
masuk ke dalam vaginaku. Rasanya sungguh nikmat!
“Mar… Coba jari kamu masuk lebih dalem lagi ke vagina Teteh… Cari daging
yang… Aaaaaaahh…!!” desahku kencang karena saat itu jari Amar tanpa
sengaja menyentuh bagian klitorisku yang sangat sensitif.
“Aduh… Sakit ya Teh? Maaf ya… Amar nggak sengaja…” kata adikku dengan nada bersalah sambil menarik jarinya dari dalam vaginaku.
“Siapa yang nyuruh keluarin jari kamu sih Mar!?” bentakku sambil memegangi lengan adikku.
“Loh kok!? Bukannya Teteh kesakitan tadi?” jawab adikku dengan wajah kebingungan.
“Itu tadi yang namanya klitoris, titik paling sensitif pada vagina
cewek, coba kamu gosok pelan-pelan. Yaaahh… Aaaahhh… Kayaaaak gituu…”
kataku sambil terus menikmati sentuhan jarinya.
“Jadi kalo Amar giniin rasanya enak ya Teh?” tanya adikku yang terus menggosokkan jarinya pada daging kecil itu.
“He-eh… E-eenaaaak ba-bangeeeet…” jawabku pelan.
Tangan adikku terus mengorek-ngorek vaginaku dengan diiringi nafasnya
yang semakin memburu. Sekarang pasti jari-jari tangan Amar sudah terkena
cairan dari kemaluanku.
“Maaar… Udah dulu pake jarinya yah… Teteeeh nggak tahan lagi… Geli bangeeet…” aku menarik tangan Amar.
Dengan tersenyum nakal adikku memperlihatkan jari tangannya yang basah “Tapi enak kan Teh?”
“I-iya enak kok…! Tapi sekarang Amar jilatin vagina Teteh dong…” pintaku tanpa malu-malu lagi.
Amar menurut saja apa yang disuruh olehku, ia menunduk hingga mulutnya
sejajar dengan vaginaku. Aroma kewanitaanku pasti langsung tercium
olehnya begitu aku lebih melebarkan lagi pahaku supaya Amar dapat
leluasa menjilatinya.
Mata Amar melotot melihat pemandangan yang indah itu dari dekat. Bibir
vaginaku masih tertutup benar-benar rapat. Tak usah dikatakan, pasti
semua lelaki langsung tahu kalau vaginaku belum pernah dijamah sama
sekali bahkan oleh pemiliknya sendiri.
Tanpa buang waktu lagi adikku menunduk dan menempatkan wajahnya di depan
selangkanganku yang telah berlendir. Hembusan nafas adikku semakin
terasa ketika wajahnya mulai mendekati vaginaku.
“Eeeeemmhhh…” desahku saat Amar mulai menciumi bagian kewanitaanku.
“Memek Teteh wangi banget…” puji Amar sambil menghirup aroma yang di timbulkan oleh vaginaku yang memang sering aku rawat.
“Ayo Mar jangan cuma diciumin aja!! Jilatin vagina Teteh sepuas Amar…” pintaku saat sudah semakin terangsang.
Adikku lalu mulai menjilati bibir vaginaku yang sudah basah karena
terangsang berat. Mula-mula dia agak canggung melakukannya, namun
lama-lama dia semakin terbiasa dan mulai menikmati tugasnya. Aku
merapatkan kedua kakiku ketika Amar mulai menjilati rongga dalam
vaginaku. Sementara itu aku menggunakan tangan kiriku untuk
meremas-remas kedua buah payudaraku secara bergantian, sedangkan
kugunakan tangan kananku untuk mengarahkan kepala adikku agar menjilati
daerah yang tepat.
“Iyah… Disitu Maaar… Mmmmhh… I-iyaaah disituuuu… Enaaak banget Maar!!” desahku kencang karena merasa begitu nikmat.
Aku mengigit-gigit bibir menikmati jilatan Amar pada vaginaku, lidahnya
bergerak-gerak seperti ular di dalam vaginaku. Daging kecil sensitifku
juga tidak luput dari sapuan lidahnya, kadang diselingi dengan hisapan
pelan. Hal ini membuat tubuhku menggeliat-geliat, mataku terpejam dan
badanku terasa melayang-layang di langit menghayati permainan ini.
“Mmmmmhhh… Ammmaaaaarrr…” aku merasakan sensasi luar biasa yang bersumber dari vaginaku.
Tidak pernah terpikir olehku, rasa nikmat yang sangat hebat bisa
ditimbulkan dari alat kelaminku yang sedang diciumi dan dijilati oleh
adikku. Tubuhku mengejang setiap kali lidah Amar mengenai klitorisku.
Rasanya seperti ada yang mau meledak dari dalam tubuhku dan ingin keluar
melalui alat kelaminku, tapi kali ini rasanya lebih mendesak dan
dorongannya lebih kuat dari sebelumnya. Sedikit demi sedikit lidah Amar
mulai terlatih dalam melakukan oral seks. Lidah adikku menyapu bibir
vagina dan menggelitik klitorisku sampai aku menggeliat-geliat dan
mendesah nikmat.
“Te-teeruuuuuss… Maaaaar…! Se-sedikiiit lagiiii…!!” kataku terbata-bata karena sudah hampir mencapai orgasme.
Melihat ekspresi dan desahanku, Amar semakin bernafsu menjilati vaginaku.
“Eennnnghhh… Teteeh keluaaaarr!! Aaaaaahh…” aku melenguh nikmat saat aku benar-benar sudah mencapai orgasme.
Kakiku mengejang dan hampir saja terjatuh kalau tidak bertumpu pada bahu
adikku. Meskipun masih terbuai di dalam kenikmatan, aku masih bisa
berpikir untuk melihat ke arah adikku yang sedang menyeruput cairan dari
alat kelaminku. Amar kelihatan sangat menikmati cairan yang terus
mengalir dari vaginaku.
“Cairan memeknya Teteh enak banget deh…!!” kata adikku saat berhenti
menyeruput dan meringankan beban birahiku untuk sementara waktu.
Amar kemudian melanjutkan menyeruput cairan vaginaku yang masih terus
mengalir keluar. Sensasi bahwa yang sedang mengeluarkan cairan vaginaku
adalah adik kandungku sendiri membuat vaginaku keluar dalam jumlah
banyak seperti bendungan yang sedang bocor.
Setelah yakin, tidak ada lagi cairan vaginaku yang tersisa untuk
dihisapnya, Amar bangkit lalu mulai membuka kaos yang menempel di
tubuhku. Adikku mengangkat kaosku dengan terburu-buru, mungkin dia sudah
tidak sabar untuk melihat tubuh kakaknya dalam keadaan bugil. Aku
sendiri mengangkat tanganku membiarkan kaos itu lolos dari tubuhku.
‘Gleeeeekk’ aku dapat mendengar suara adikku menelan ludah dan matanya
terlihat seperti mau keluar memandang tubuhku yang sekarang sudah tidak
tertutup apa-apa lagi.
Tubuhku begitu mulus dengan payudara berukuran kecil, namun kencang.
Ketika adikku sedang terbengong tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun,
aku meraih tangannya dan meletakkannya pada payudaraku. Kemudian aku
bimbing tangan adikku, yang masih terasa lengket oleh cairan vaginaku,
untuk mulai membelai dan meremas payudaraku.
“Mmmmhhhh… Iya gitu Mar! Remasss pelan-pelaaan payudara Teteh, rasain
putingnya mengeraaaas…” kataku sambil mengarahkan tangannya yang lain ke
bagian punggungku.
Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan kedua tanganku, jadi aku
menggunakan kedua tanganku untuk mengelus-elus kepala adikku yang sedang
menjelajahi setiap bagian dari kedua buah payudaraku. Aku memejamkan
mata menikmati belaian tangan adikku, belaian itu kadang terkesan
ragu-ragu tapi semakin membuat birahiku naik.
“Aaaaaaaahh… Aaaaaahh… Aaaaaaaaahh…” aku terus mendesah.
Tanpa harus dibimbing lagi, sambil sedikit menunduk adikku mengenyoti
payudaraku sampai pipinya yang tirus terlihat semakin kempot. Lidahnya
juga menyapu-nyapu putingnya menyebabkan aku semakin terangsang. Aku
memegangi kepala adikku dan menekan-nekan wajahnya ke payudaraku seolah
memintanya terus melakukannya.
“Mmmmmmmhhh… Maaaar… Isepiiiin yang satu lagiiii… Aaaaaaaaah…” erangku keenakan.
Adikku kini menghisap payudara kananku sedangkan tangannya meremasi
payudara yang lain. Disedotnya putingku dengan buas menyebabkan benda
itu semakin membengkak. Lidahnya terasa menari-nari dengan liar,
membuatku semakin tidak bisa mengontrol diri. Tubuhku serasa lemas tak
berdaya, pasrah membiarkan adikku menjilati payudaraku.
“Ooooohhh… Mar!! Jangan keras-keraaas!!” aku meringis dan menjenggut rambut adikku ketika putingku mulai digigit olehnya.
Kenikmatan yang semakin melambungkannya membuat adikku lupa diri hingga
tidak terasa putingku yang sedang dihisapnya tergigit pelan.
“Maaf Teh, Amar nggak sengaja… Abis rasanya enak banget sih…” tidak
dapat disangkal rasa nyeri itu turut bercampur menjadi bagian dari
kenikmatan antara aku dan adikku.
“Rasa toketnya Teteh enak!! Amar suka banget ngisepnya Teh…!” kata
adikku lalu kembali mengulum putingku yang semakin mencuat keluar.
“Iyaaahhh Mar…! Teteh juga suka diisep Amaar… Teruuuuus… Kayak gitu enaaaaak… Aaaahhh… Aaaaahhh!!” desahku.
Setelah kedua payudaraku sudah terbaluri air liur adikku, tangannya
mulai aktif mengelusi paha mulusku. Tanpa kusadari, jari-jarinya sudah
mulai memasuki vaginaku lagi dan menggelitik bagian dalamnya. Aku
menutup mataku dan mulai mendesah saat jarinya yang sekarang sudah cukup
terlatih, menemukan klitorisku dan menggesek-gesekkan jarinya pada
daging kecil itu. Aku merasakan sensasi geli yang luar biasa sehingga
tubuhku mengejang dan pahaku merapat mengapit tangannya.
“Aaaaaaaaaaaahh…” desahku saat jari tengah Amar bergerak naik-turun di
belahan bibir vagina sambil mengelus-elus pangkal pahaku yang sudah
mulai terasa panas lagi.
Sedang enak-enaknya menikmati rangsangan yang diberikan pada payudara
dan vaginaku, tiba-tiba adikku berkata “Teh, gantian dong bikin Amar
enak…”
“Emangnya Amar mau Teteh apain?” jawabku sambil membuka mata.
“Kocokin kontol Amar dong Teh…” katanya sambil tangannya menuntun tanganku ke arah penisnya.
Kupikir egois juga jika aku tidak mengikuti keinginannya. Kubiarkan
tanganku dituntun oleh tangannya. Aku pun menggenggam batang penis yang
sudah sangat tegang tersebut dengan jari-jari kecilku, kemudian berlahan
mengocoknya dengan lembut. Terasa hangat penisnya di genggaman tangan
ini. Kadang terasa kedutan di dalamnya. Karena masih ada sedikit sisa
sabun di penisnya, dengan mudah aku bisa memaju-mundurkan tanganku
mengocok penisnya. Tanganku mulai mengusap batang itu. Adikku memejamkan
mata dan menelan ludah menikmati usapan lembut itu.
“Udah pernah belum penis Amar diginiin?” tanyaku ingin tahu.
“Kalo coli doang sih udah sering Teh. Malah kadang Amar ngelakuinnya
sambil ngebayangin Teteh telanjang…” katanya dengan malu-malu.
Mendengar jawaban itu tentu membuat aku kaget sekaligus tersenyum geli,
tanpa merasa marah sedikitpun. Aku terus mengocok penis adikku hingga
sudah sangat tegang. Kulihat tubuh adikku kadang-kadang tersentak ke
depan saat tanganku sampai ke pangkal penisnya. Kami berhadapan dengan
satu tangan saling memegang kemaluan dan tangan satunya memegang bahu.
“Oooohh Teteeeh…” Amar melenguh nikmat menerima kocokan tanganku pada penisnya.
“Emmmhhh… Teeeh… Enaaakk bangeeeet rasanyaaa!!” erangnya gemetaran.
Saat aku sedang menikmati mengocok penis adikku, tiba-tiba dia berkata
“Teh, sepongin kontol Amar dong! Soalnya kata temen-temen Amar enak
banget rasanya…” tanyanya berharap aku mau menurutinya.
“Kamu tuh ya Mar! Udah dikasih hati, sekarang minta jantung…” candaku.
Tanpa ada perasaan ragu, aku menyiram penisnya yang masih ada sisa sabun
dengan air dari gayung hingga bersih. Aku mengambil posisi berlutut di
depan penis adikku dan mulai menggenggamnya. Adikku mulai mendesah dan
tubuhnya berkelejotan ketika aku pertama kali mendaratkan bibirku untuk
mengecup kepala penisnya. Lidahku lalu menyusul menjilati bagian
tersebut sambil tanganku memijat pelan buah zakarnya.
“Teeteeeeehhh…!!!” teriak adikku saat aku mulai menciumi batang penisnya.
Aku yang sudah cukup sering melakukan oral seks dengan pacarku mulai
menjilati ujung kepala penis milik Amar. Dengan perlahan-lahan aku
memainkan lidah dan menjilati secara bergantian antara batang penis
dengan buah zakar adikku.
“Enak yah Mar?” tanyaku sambil memasang wajah menggoda.
“He-eh… Eenaaaaaak bangeeeet Teeeh…!” jawab Amar yang sekarang pasti sedang birahi berat.
Aku pun melanjutkan layanan dengan memasukkan batang penis tersebut ke
dalam mulutku. Batang penis itu pun kini mulai terlihat keluar masuk
seiring kulumanku. Sesekali ditengah kulumannya, aku juga mengemut buah
zakar Amar sehingga membuatnya semakin mendesah penuh kenikmatan.
Sambil memejamkan mata, aku mulai memasukan penis itu ke dalam mulutku.
Adikku mendesis merasakan hangatnya ludahku menyelubungi penisnya
disertai hisapan dan jilatan yang baru dirasakan pertama kalinya itu.
“Oooohhh… Eenaaaaak banget Teeeh… Oooohh…” adikku mengerang-erang
mengeluh-eluhkan aku yang menjilati penisnya karena belum pernah dia
rasakan kenikmatan seperti ini.
Aku sangat menikmati alat kelamin adikku, tidak ada yang luput dari
sapuan lidahku. Penis itu habis diemut-emut dan dijilat-jilat olehku,
penis Amar pun menjadi bulan-bulananku. Sekitar penisnya pun sudah basah
kuyup dengan air liurku. Adikku terus mendesah dan mendongakkan
kepalanya.
“Amar pasti sangat menikmati hisapan dan jilatan dariku…” pikirku yang memang sudah terbiasa melakukan hal ini dengan pacarku.
“Enaaaaak Teeeh!! Aaaaaaahhhh…” lirih adikku karena seluruh batangnya telah berada di dalam mulutku.
“Aaahhh… Teruuuus Teh!! Jilatin kepala kontol Amaaaar… Aaahh… Aaahh…” perintah adikku sambil terus mendesah keenakan.
“Teruuus Teh… Terus… Ooooooh…” Amar terus mendesah. Adikku menyeka
rambut yang menutupi wajahku, rupanya dia ingin melihat ekspresi wajahku
ketika sedang menghisap penisnya.
“Ooohh… Oooohh… Ooooooohh…” desahan Amar terdengar semakin kencang setiap kali batang penisnya memasuki mulutku.
Amar nampak menengadah sambil memejamkan matanya. Terlihat sekali ia
begitu menikmati apa yang dilakukan olehku di bawah sana. Sedangkan aku
masih terlihat sibuk untuk mengeluarkan seluruh teknik oralku. Aku
menggigit kecil kepala dan leher penis adikku karena nafsu. Tubuh Amar
menggelinjang-gelinjang saat aku menggunakan lidahku untuk
mengorek-ngorek kepala penisnya.
Adikku kelihatan tak bisa menahan rasa nikmat serangan lidahku pada
kepala penisnya. Terkadang aku membuka mata dan menggerakkan mataku ke
atas untuk melihat reaksi adikku, tatapan mataku saat itu membuatnya
tidak sanggup berlama-lama memandangku. Sungguh sebuah sensasi luar
biasa dimana aku sedang menghisap penis adik kandungku sendiri! Gila
memang kalau dipikir, namun itulah nafsu, jika kita tidak mampu
mengendalikan maka kita yang akan dikendalikan.
“Aaaaaahh… Enak banget Teh… Enaaaaaak!! Teteh jago banget nyepongnya!!” kata Amar sambil terus memuji hisapanku pada penisnya.
“Aaaahh… Amaaar udaaah mauuu keluaaaar…!! Aaaahhh…” teriak adikku yang
rupanya sudah tidak mampu menahan nikmatnya permainan mulut dan lidahku.
Tidak lama kemudian saat kepala penis Amar bersentuhan dengan daging
lembut di langit-langit tenggorokanku, keluarlah dengan deras spermanya
tanpa dapat dibendung lagi. Tubuh adikku menegang sambil menggigiti
bibir bawahnya dan menarik erat rambutku, mungkin karena saat ini dia
sedang merasakan kenikmatan yang tidak dapat terlukiskan dengan
kata-kata.
“Teleen semuaa pejuuu Amaar Teeh!! Jangaaaan sampeee nyisaaaaaa…!!” perintah adikku.
Aku pun menuruti permintaan Amar, kutelan seluruh sperma yang masuk ke
dalam mulutku. Ini adalah pertama kalinya aku menelan sperma. Bahkan
pacarku sendiri belum pernah mendapatkan keistimewaan seperti yang
sedang dialami oleh Amar. Cairan putih yang menyemprot dari penis adikku
memang sangat banyak, namun tidak setetes pun keluar dari mulutku.
Pipiku sampai terlihat kempot menghisap dan menelan sperma tersebut
dengan nikmat.
“Aaaaaahh… Udahhh Teeehhh…! Amar udah nggak tahan lagi…!! Uuuuuuuhh…”
Amar minta ampun karena aku terus mengemut-emut kepala penisnya.
Namun bukannya berhenti, aku malah menghisap penisnya lebih kencang.
Adikku hanya bisa mengerang keenakan saat penisnya aku bersihkan dengan
mulutku. Setelah yakin sperma Amar sudah benar-benar tidak bersisa, aku
pun mengeluarkan penis adikku yang mulai menyusut dalam mulutku.
“Gimana Mar, enak nggak yang Teteh lakuin barusan?” tanyaku begitu
melepas penis tersebut dari mulutku, kemudian memanfaatkan sedikit waktu
untuk beristirahat sejenak.
“Enak banget Teh!! Baru pernah Amar ngerasain yang seenak tadi…!!” katanya puas.
Belum cukup lama aku beristirahat tiba-tiba Amar bertanya “Teteh udah pernah ngentot belum?”
“Belum…” kataku yang memang belum pernah sekalipun melakukan persetubuhan dengan mantan maupun pacarku saat ini.
“Emangnya Amar udah pernah?” aku bertanya balik karena penasaran.
“Belum juga Teh…” jawabnya singkat.
“Ya udah nanti juga ada saatnya kok…” kataku yang tiba-tiba tersadar arah dari pertanyaan adikku tadi.
“Tapi Teh, Amar pengen banget ngerasain ngentot… Teteh mau kan?” katanya dengan nada memelas.
“Teteh nggak mau Mar!! Inget dong, kita kan kakak adik…!” aku mencoba menolak karena tidak ingin adikku berbuat lebih jauh lagi.
“Tolong dong Teh…” katanya memelas.
“Teteh belum siap kalo harus gituan sama Amar. Lagipula Teteh masih perawan…” kataku lagi.
“Kalo gitu kontol Amar sama memek Teteh digesekin aja deh. Boleh ya?” pinta adikku seperti meminta belas kasihan.
“Tapi janji yah cuma digesekin aja?” aku mengingatkannya karena tidak
ingin diperawani apalagi hingga hamil oleh adik kandungku sendiri.
Adikku yang terlihat sudah terangsang berat, langsung mengiyakan karena
dia pasti sudah tidak tahan lagi untuk menggesekkan penisnya pada
vaginaku. Amar lalu membantuku untuk bangkit dari posisi berlutut,
kemudian dia berusaha mencari lubang vaginaku untuk digesekkan dengan
kepala penisnya. Tapi dia terlihat sedikit kesulitan karena memang belum
berpengalaman.
“Sini Mar…” tanpa sadar aku menjulurkan tangan kananku dan menggengam penisnya lalu menuntun ke mulut vaginaku.
Karena adikku lebih tinggi, maka dia harus sedikit mengangkat badanku
agar dapat menggesekkan penisnya di antara selangkanganku. Terasa
hangatnya batang penisnya di bibir vaginaku. Lalu dia memaju-mundurkan
pinggulnya untuk menggesek-gesekkan penisnya dengan vaginaku.
“Ouuuughhh Amaaaaarrr!!” aku mengerang kencang.
“Mar… Masukin aja penis kamu!! Teteh udah nggak tahan nih…” setelah
sekian lama menerima rangsangan aku akhirnya menghendaki penis adikku
untuk masuk ke dalam vaginaku.
“Iyaaa Teehhh…” jawabnya sambil terus mendesah.
Sepertinya aku sekarang sudah tidak perduli lagi dengan kenyataan bahwa
laki-laki yang akan aku berikan keperawananku adalah adik kandungku
sendiri! Namun aku hanya ingin Amar memperawaniku dengan lembut. Maklum
saja ini merupakan pengalaman pertamaku yang pasti akan berkesan seumur
hidupku. Untunglah, adikku tampaknya mengerti akan perasaanku.
“Teteh udah siap?” tanya adikku.
“I-iya… Tapi pelan-pelan yah Mar. Ja-jangan kasar…” pintaku sedikit gugup.
Ia mengangguk dan sorot matanya seolah menenangkanku. Amar lalu
menaikkan satu kakiku dan dilingkarkan ke pinggangnya, sedangkan tangan
satunya mengarahkan penisnya agar tepat masuk ke vaginaku. Sesaat
penisnya berhasil membelah bibir vaginaku, namun mungkin karena vaginaku
licin akibat cairan cintaku, penis Amar malah meleset keluar dari celah
vaginaku. Adikku kembali berusaha, namun tampaknya agak susah baginya
untuk memasukkan penisnya ke dalam liang vaginaku yang masih sempit.
Setelah beberapa kali berusaha, akhirnya aku terlonjak ketika sebuah
benda hangat masuk ke dalam kemaluanku. Rasanya ingin berteriak
sekuatnya untuk melampiaskan nikmat yang kurasa. Akhirnya aku hanya bisa
menggigit bibirku untuk menahan rasa nikmat itu.
“Aaaaaaaaaghhh!!!” aku membelalak dan menjerit keras saat merasakan rasa ngilu dan perih yang amat hebat melanda vaginaku.
Akhirnya keperawananku terenggut oleh adikku sendiri. Aku bisa merasakan
hangatnya penis Amar yang kini terjepit di dalam vaginaku. Adikku kini
memundurkan pinggulnya dengan pelan, mengakibatkan rasa sakit itu
semakin mendera vaginaku.
“Mar, Amaaar!! Sakit… Pelan-pelan dong!! Aduuuuh!!” aku meminta dengan panik kepada adikku.
“Sebentar lagi pasti nggak berasa sakit kok Teh…” jawab Amar berusaha
menenangkanku sambil kembali mendorong pinggangnya dengan pelan.
Penis adikku kini semakin dalam memasuki vaginaku diiringi dengan jeritan piluku yang tersiksa oleh rasa sakit itu.
“Oooooooohh…” adikku melenguh dan menghentikan dorongannya.
Aku akhirnya sadar kalau sekarang ini seluruh penis adikku sudah
terbenam sepenuhnya didalam lubang kewanitaanku. Untuk beberapa saat,
kami terdiam dalam posisi itu. Adikku seperti memberiku waktu untuk
menyesuaikan diri dengan keadaanku.
“Anget banget rasanya di dalem memek Teteh…” puji adikku seperti ingin mengalihkan rasa sakitku.
Adikku lalu menarik penisnya sedikit dari vaginaku dan dengan pelan
dilesakkannya kembali kedalam liang vaginaku. Rasa pedih kembali
menyengat vaginaku, namun Amar selalu berusaha menenangkanku.
“Sakit ya Teh?” tanya adikku.
“I-iya Mar… Sakiiiit bangeeet…!!” jawabku supaya adikku dapat lebih berhati-hati.
Aku merasa tampaknya Amar juga sudah mengerti bagaimana sakitnya saat
seorang wanita diperawani untuk pertama kalinya karena dia selalu
berusaha memompa penisnya selembut mungkin untuk mengurangi rasa
sakitku. Lama kelamaan, rasa sakit tersebut digantikan oleh rasa nikmat
yang dari vaginaku akibat gerakan penis adikku. Walaupun masih bercampur
dengan rasa perih, aku bisa merasakan bahwa sensasi baru ini berbeda
dari saat vaginaku dioral dan dipermainkan oleh jari adikku. Rasa perih
itu semakin hilang dan digantikan dengan sensasi baru di tubuhku.
“Aaaaaaaaah… Maaar…!! Amaaaar…!!!!” aku mendesah sambil menyebut nama adikku.
Amar yang melihat bahwa aku sudah terbiasa akan pergerakannya mulai
leluasa mengatur gerakannya. Sekarang penisnya ditarik keluar hingga
hanya tersisa ujung penisnya saja di dalam vaginaku. Tiba-tiba Amar
mendorong pantatnya mendadak dengan cepat sehingga penisnya kembali
menghujam liang vaginaku dengan keras.
“Aaaaaaaaakkkh…” jeritku kaget.
Namun sekarang rasanya tidak lagi perih seperti tadi. Amar mulai
menggerakkan penisnya dengan tempo yang lebih cepat, membuatku akhirnya
melenguh-lenguh merasakan nikmat di vaginaku.
“Ooooohh… Aaaaahhh… Aaaaaahh…” aku mendesah-desah keenakan.
Sesekali adikku berhenti menggerakkan pinggangnya saat penisnya tertanam
penuh dalam vaginaku dan mulai menggoyang-goyangkan pantatnya sehingga
penisnya mengaduk-aduk isi liang vaginaku. Semakin lama, kurasakan tempo
goyangan penis Amar semakin cepat keluar masuk vaginaku dan menggesek
klitorisku saat memasuki vaginaku. Tubuhku juga berguncang mengikuti
irama pompaan penis adikku seiring dengan desahan-desahan erotis dari
bibirku. Tidak terasa sudah sekitar 15 menit sejak penis adikku memasuki
vaginaku pertama kalinya. Amar masih dengan giat terus menggerakkan
penisnya menjelajahi vaginaku. Sementara aku sendiri sudah kewalahan
menerima serangan kenikmatan di vaginaku.
Karena sudah dari tadi di rangsang, tidak lama kemudian aku merasa
vaginaku berdenyut dan merinding. Vaginaku rasanya seperti
tersedot-sedot dan seluruh syaraf di dalam tubuh berkontraksi.
“Ouuuuugggghhh… Ammaaaaaaarrrr!! Enaaaakk bangeeeeet Maaar!! Teteh mauu keluaaaaarrr!!” aku tidak kuat untuk tidak berteriak.
“Aaaaaaaaaaahhhh!!” sambil menjerit aku melepaskan rasa nikmat orgasme yang terasa luar biasa.
“Oooh… Memeknya Teteeeeh basaaah dan Aanget!! Enak banget Teeeeh…!”
erang Amar menikmati penisnya di dalam vaginaku yang sudah basah oleh
cairan orgasme.
Kulihat adikku masih terus memaju-mundurkan pinggulnya dengan sekuat
tenaga. Tiba-tiba dia mendorong tubuhku sekuat tenaga hingga terdorong
sampai ke tembok.
“Ouughhh…! Enak Maaarrr…!! Terus Maaarr…. Oughhh….” kataku yang walaupun sudah mencapai orgasme tapi belum ingin berhenti.
Tanganku memegang pantatnya dan menekannya supaya penisnya bisa lebih
masuk, penetrasinya pun lebih dalam. Pantatnya ditekannya lama sekali ke
arah vaginaku. Lalu badannya tersentak-sentak melengkung ke depan.
Kurasakan cairan hangat di dalam vaginaku. Lama kami terdiam dalam
posisi itu, kurasa penisnya masih penuh mengisi vaginaku.
Lalu dia mencium bibirku dan melumatnya. Kami berciuman lama sekali,
basah keringat menyiram tubuh ini. Kami saling melumat bibir lama
sekali. Tangannya lalu meremas susuku dan memilin putingnya.
“Sekarang Teteh nungging deh, terus pegang pinggir bak mandi…” tiba-tiba adikku berkata.
“Kamu mau ngapain Mar?” aku sedikit bingung dengan permintaannya.
“Udah deh! Teteh ikutin kata Amar aja…” katanya lagi.
Aku pun mengikuti petunjuknya. Aku berpegangan pada pinggir bak mandi
dan menurunkan tubuh bagian atasku, sehingga batang kemaluannya sejajar
dengan pantatku. Aku tahu adikku bisa melihat dengan jelas vaginaku dari
belakang. Lalu dia mendekatiku dan memasukkan penisnya ke dalam
vaginaku dari belakang. Terdengar bunyi hentakan dari badan Amar dengan
belakang pantatku. Aku juga bisa merasakan buah zakarnya bergelantungan
di bongkahan pantatku.
“Aaaahhhhh…!! Enak banget Maaar… Aaaaahh… Amaaaaarrr…!!” aku menjeritkan
nama adikku saat penis itu mulai masuk ke dalam rongga vaginaku.
Mulutku terus mengeluarkan desahan-desahan nikmat, kepalaku menengadah
dan mataku terpejam. Sungguh luar biasa kenikmatan yang diberikan oleh
adikku. Kontraksi otot-otot kemaluanku membuat adikku merasa semakin
nikmat karena otot-otot itu menghimpit penisnya. Hal ini menyebabkan
goyangan adikku semakin liar saja.
“Eeeeemm… Eenaaakk bangeeeet Teh…!” bisiknya sambil meremasi bongkahan pantatku.
Aku hanya mengangguk karena sedang melayang-layang sekarang. Gesekan
penis Amar di kemaluanku benar-benar membuat nikmat. Aku bahkan merasa
kalau penis Amar sampai membentur dinding rahimku.
“Teruuus Maaar… Oohhhh… Tekeeen lebiih daleeeem…!!” pintaku walaupun aku sadar kalau penis Amar sudah masuk seluruhnya.
Adikku sangat pintar memainkan tubuhku, dengan sangat lembut
jari-jarinya menyelusuri belahan pantatku dari atas hingga ke bawah
belahan vaginaku. Gerakan itu di lakukan berkali-kali sehingga pantatku
terlihat membusung ke belakang.
Sambil menggenjot, tangan adikku menjelajahi lekuk-lekuk tubuhku,
payudaraku diremas-remasnya dengan gemas. Aku turut menggerakan
pinggulnya menyambut genjotan adikku. Rasanya lebih nikmat dibanding
sebelumnya. Rasa nikmat itu lebih kurasakan karena tangan adikku yang
bebas kini meremas-remas payudaraku. Adikku terus memaju-mundurkan
pantatnya.
“Ssssshhh… Aaaaahhhh… Pe-peniiis kamuuu keraaaas bangeeeet…!! Eehhh… Eenaaakkk Maaaar!!” desahku menikmati persetubuhan ini.
Namun dengan tiba-tiba adikku menahan gerakan pantatnya lalu menarik
sebagian penisnya keluar, sehingga hanya tinggal setengahnya saja yang
masih terbenam di dalam vaginaku. Hanya berselang beberapa detik
kemudian, Amar kembali mendorong penisnya dengan cepat ke arah
kemaluanku.
“Aaaaaaaaahhh…!!! Te-teruuuus Mar…!!! Enaaaaakkk…!!!” aku berteriak-teriak tidak terkendali.
Tidak ingin hanya berdiam diri saja, aku ikut membantu adikku dengan
menggerakkan pantatku ke depan dan belakang hingga akhirnya dia
berteriak “Aaaaaah… Amaaar udaaaah pengeeeen keluaaaar Teeeh…!!”
“Ja-jangaan keluaaar duluu Maaar…! Aaaaaaah… Tu-tungguuu Teteeeh…!!” aku berusaha meresapi semua kenikmatan tersebut.
Aku sungguh berharap dengan begitu rasa orgasme dapat segera datang.
Ternyata tidak lama kemudian, sesuai dengan keinginanku, bersamaan
dengan teriakan Amar, dapat kurasakan vaginaku mengejang beberapa kali.
Tubuhku menggelinjang diiringi dengan dengan semprotan-semprotan panjang
di dalam vaginanya. Aku merasakan tembakan sperma adikku yang hangat
kembali membasahi rahimku.
“Ooooooh… Teteeeeeeeh…!” adikku melenguh panjang sambil menekan dalam-dalam penisnya yang menyemburkan spermanya.
Setelah mencapai orgasme aku tersenyum pada adikku itu dan menciumnya di
bibir dengan mesra. Kami lalu berciuman untuk waktu yang cukup lama.
Bibir kami saling berpagutan, aku dengan agresif memainkan lidahnya di
dalam mulut adikku, aku menyapu langit-langit mulutnya dan
mendorong-dorong lidah adikku dengan lidahnya. Adikku pun tergerak untuk
ikut memainkan lidahnya membalas lidah aku yang seolah mengajaknya ikut
menari. Sambil berciuman dengan penuh gairah tangan adikku ikut
mengelusi punggungku.
‘Sluuup… Sluuuuph…’ demikian bunyinya saat lidah kami saling membelit dan bermain di rongga mulut.
Beberapa saat kemudian kami saling melepas ciuman setelah merasa nafas
kami memburu dan butuh udara segar. Aku mengambil sabun dan mulai
menggosokannya ke seluruh tubuh Amar. Wajah adikku masih terlihat lelah
ketika tanganku membelai tubuhnya, tapi yang jelas penisnya masih tampak
tegang terutama ketika aku menyabuninya. Dengan nakal aku sengaja
mengocoknya pelan sehingga adikku mulai mendesah.
“Sekarang gantian Amar yang nyabunin Teteh yah…” ujarku seraya menyerahkan sabun ke tangannya.
Amar menyabuni seluruh tubuhku dengan penuh nafsu. Ketika sampai di bagian vagina, adikku mulai memainkan jarinya lagi.
“Eeeemmmhhh…” aku mendesah sambil memejamkan mata.
Aku memeluk adikku dan menggeser tubuh ke dekat bak mandi, kemudian
menyiram dan membilas busa sabun di tubuh kami berdua. Amar mengelus dan
memasukkan jarinya ke vaginaku sambil mengemut putingku yang mulai
menegang. Aku terus mendesah menikmati jari-jari Amar di vaginaku yang
disertai hisapan pelan pada putingku. Kepalaku terus menengadah dengan
mata terpejam. Sedang larut-larutnya dalam birahi tiba-tiba aku
mendengar suara klakson mobil yang sudah tidak asing lagi.
“Aduh Mar!! Itu kan suara klakson mobil Ayah…!!” teriakku dengan panik.
Dengan terburu-buru Amar langsung melepas pelukannya dari tubuhku. Dia
segera memakai handuk miliknya, sedangkan aku tanpa pikir panjang
memakai kembali kaos dan celanaku yang dalam keadaan kotor. Lalu kami
berdua keluar dari kamar mandi, Amar masuk ke kamar tidurnya sedangkan
aku membukakan pintu depan tanpa sempat berganti pakaian terlebih
dahulu.
“Teteh sama Amar lagi pada dimana sih? Kok tadi Ibu ketok-ketok pintu
nggak ada yang bukain? Jadinya Ayah bunyiin klakson mobil deh…” tanya
Ibu ketika sudah berada di ruang tamu.
“Ta-tadi Teteh lagi di kamar mandi, terus Amar lagi di kamarnya. Makanya
nggak ada yang denger Ibu ngetok pintu…” jawabku gugup karena tidak
terbiasa berbohong.
“Oooh gitu…” kata Ibu singkat.
“Uuuuh… Untung aja Ibu nggak curiga…” pikirku sambil menghela nafas lega.
Namun bukannya jera karena perbuatanku dengan Amar nyaris ketahuan, pada
malam harinya saat orang tua dan adik-adikku yang lain sudah pergi
tidur, aku mengetuk kamar tidur Amar untuk kemudian melanjutkan
permainan yang tadi sempat tertunda.
Sejak saat itu kami melakukannya bagaikan pengantin baru, hampir tiap
malam kami bersetubuh. Bahkan pernah dalam semalam kami melakukannya
hingga tiga kali! Biasanya Amar membiarkan pintu kamarnya tidak dalam
keadaan terkunci, lalu saat keluargaku yang lain sudah terlelap aku
datang ke kamarnya dan kami pun bersetubuh sampai kelelahan.
Terkadang saat kedua orangtua serta adik-adik perempuanku sedang tidak
berada di rumah, kami berani melakukan persetubuhan tersebut tidak hanya
di kamar adikku ataupun kamarku, namun juga di ruang keluarga, ruang
tamu hingga kamar Ayah dan Ibu. Bahkan pernah juga ketika rumah kami
masih dalam keadaan ramai, adikku yang sudah tidak dapat menahan nafsu
lagi, memintaku untuk melakukan oral seks di kamarnya.
Walaupun aku selalu menyadari kalau perbuatan yang kami lakukan ini
sangat dilarang, namun tetap saja aku dan adik laki-lakiku terus
melakukan hal tersebut hingga berulang kali. Tetapi sejak kejadian itu
aku merasa Amar telah berubah menjadi anak yang lebih penurut, terutama
kepadaku.
- Tamat -
No comments:
Post a Comment