Suatu hari saat waktu (kurang lebihnya tahun 2001) itu aku diminta oleh
kakak ku untuk menjaga rumahnya karena kakak ku sedang pergi keluar
kota. Sore itu awan dilangit sangatlah mendung sekali pertanda akan
hujan datang. Rintik-rintik hujan mulai turun semakin lebat. Mbak Narti
yang bekerja di rumah abangku ini bergegas ke halaman belakang untuk
mengambil jemuran. Kemudian, “Den Diko!”, teriaknya keras dari belakang
rumah. Aku berlari menuju arah suaranya dan melihat Mbak Narti terduduk
di tepi jemuran. Kain jemuran berhamburan di sekitarnya.
“Den Diko, tolong Mbak Narti bawakan kain ini masuk”, pintanya sambil menyeringai mungkin menahan sakit.
“Mbak tadi tergelincir”, sambungnya.
Aku hanya mengangguk sambil mengambil kain yang berserakan lalu sebelah tanganku coba membantu Mbak Narti berdiri.
“Sebentar Mbak. Saya bawa masuk dulu kain ini”, kataku sembari
membantunya memegang kain yang berada di tangan Mbak Narti. Aku bergegas
masuk ke dalam rumah. Kain jemuran kuletakkan di atas kasur, di kamar
Mbak Narti. Ketika aku menghampiri Mbak Narti lagi, dia sudah separuh
berdiri dan mencoba berjalan terhuyung-huyung. Hujan semakin lebat
seakan dicurahkan semuanya dari langit.
Aku menuntun Mbak Narti masuk ke kamarnya dan mendudukkan di kursi.
Dadaku berdetak kencang ketika tanganku tersentuh buah dada Mbak Narti.
Terasa kenyal sehingga membuat darah mudaku tersirap naik. Kuakui walau
dalam umur awal 30-an ini Mbak Narti tidak kalah menariknya jika
dibandingkan dengan kakak iparku yang berusia 25 tahun. Kulitnya kuning
langsat dengan potongan badannya yang masih menarik perhatian lelaki.
Tidak heran, pernah Mbak Narti kepergok oleh abangku bermesraan dengan
laki-laki lain.
“Tolong ambilkan Mbak handuk”, pinta Mbak Narti ketika aku masih termangu-mangu.
Aku menuju ke lemari pakaian lalu mengeluarkan handuk dan kuberikan kepadanya.
“Terima kasih Den Diko”, katanya dan aku cuma mengangguk-angguk saja.
Kasihan Mbak Narti, dia adalah wanita yang paling lemah lembut. Suaranya
halus dan lembut. Bibirnya senantiasa terukir senyum, walaupun dia
tidak tersenyum. Rajin dan tidak pernah sombong atau membantah.
Dianggapnya rumah abangku seperti rumah keluarganya sendiri. Tak pernah
ada yang menyuruhnya karena dia tahu tanggung jawabnya.
Kadang-kadang saya memberinya sedikit uang, bila saya datang ke sana.
Bukan karena apa, sebab dia mempunyai sifat yang bisa membuat orang
sayang kepadanya. Abangku tidak pernah memarahinya. Gajinya setiap bulan
disimpan di bank. Pakaiannya dibelikan oleh kakak iparku hampir setiap
bulan. Memang dia cantik, dan tak tahu apa sebabnya hingga suaminya
menceraikannya. Kabarnya dia benci karena suaminya selingkuh. Hampir
kurang lebih 4 tahun lebih dia menjanda setelah menikah hanya 6 bulan.
Sekarang dia baru berusia 29 tahun, masih muda.
Kalau masalah kecantikan, memang kulitnya putih. Dia keturunan Cina.
Rambutnya mengurai lurus hingga ke pinggang. Dibandingkan dengan kakak
iparku, masing-masing ada kelebihannya. Kelebihan Mbak Narti ialah
sikapnya kepada semua orang. Budi bahasanya halus dan sopan.
Mbak Narti berdiri lalu mencoba berjalan menuju ke kamar mandi. Melihat
keadaannya masih terhuyung-huyung, dengan cepat kupegang tangannya untuk
membantu. Sebelah tanganku memegang pinggang Mbak Narti. Kutuntun
menuju ke pintu kamar mandi. Terasa sayang untuk kulepaskan peganganku,
sebelah lagi tanganku melekat di pinggangnya.
Mbak Narti menghadap ke diriku saat kutatap wajahnya. Mata kami saling
bertatapan. Kulihat Mbak Narti sepertinya senang dan menyukai apa yang
kulakukan. Tanganku jadi lebih berani mengusap-usap lengannya lalu ke
dadanya. Kuusap dadanya yang kenyal menegang dengan puting yang mulai
mengeras. Kudekatkan mulutku untuk mencium pipinya. Dia berpaling
menyamping, lalu kutarik lagi pipinya. Mulut kamipun bertemu. Aku
mencium bibirnya. Inilah pertama kalinya aku melakukannya kepada seorang
wanita.
Erangan halus keluar dari mulut Mbak Narti. Ketika kedua tanganku
meremas punggungnya dan lidahku mulai menjalari leher Mbak Narti. Ini
semua akibat film BF dari CD-Rom yang sering kutonton dari rumah teman.
Mbak Narti bersandar ke dinding, tetapi tidak meronta. Sementara
tanganku menyusup masuk ke dalam bajunya, mulut dan lidahnya kukecup.
Kuhisap dan kugelitik langit-langit mulutnya. Kancing BH-nya kulepaskan.
Tanganku bergerak bebas mengusap buah dadanya. Putingnya kupegang
dengan lembut. Kami sama-sama hanyut dibuai kenikmatan walaupun kami
masih berdiri bersandar di dinding.
Kami terangsang tak karuan. Nafas kami semakin memburu. Aku merasa tubuh
Mbak Narti menyandar ke dadaku. Dia sepertinya pasrah. Baju daster Mbak
Narti kubuka. Di dalam cahaya remang dan hujan lebat itu, kutatap
wajahnya. Matanya terpejam. Daging kenyal yang selama ini terbungkus
rapi menghiasi dadanya kuremas perlahan-lahan.
Bibirku mengecup puting buah dadanya secara perlahan. Kuhisap puting
yang mengeras itu hingga memerah. Mbak Narti semakin gelisah dan
nafasnya sudah tidak teratur lagi. Tangannya liar menarik-narik
rambutku, sedangkan aku tenggelam di celah buah dadanya yang membusung.
Mulutnya mendesah-desah, “Ssshh…, sshh!”.
Puting payudaranya yang merekah itu kujilat berulangkali sambil kugigit
perlahan-lahan. Kulepaskan ikatan kain di pinggangnya. Lidahku kini
bermain di pusar Mbak Narti, sambil tanganku mulai mengusap-usap
pahanya. Ketika kulepaskan ikatan kainnya, tangan Mbak Narti semakin
kuat menarik rambutku.
“Den Dikooo…, Den Diko”, suara Mbak Narti memanggilku perlahan. Aku
terus melakukan usapanku. Nafasnya terengah-engah ketika celana dalamnya
kutarik ke bawah. Tanganku mulai menyentuh daerah kemaluannya. Rambut
halus di sekitar kemaluannya kuusap-usap perlahan.
Ketika lidahku baru menyentuh kemaluannya, Mbak Narti menarikku berdiri.
Pandangan matanya terlihat sayu bagai menyatakan sesuatu. Pandangannya
ditujukan ke tempat tidurnya. Aku segera mengerti maksud Mbak Narti
seraya menuntun Mbak Narti menuju tempat tidur. Bau kemaluannya
merangsang sekali. Dengan satu bau khas yang sukar diceritakan.
“Den Dikooo…”, bisiknya perlahan di telingaku. Aku terdiam sambil
mengikuti apa yang kuinginkan. Mbak Narti sepertinya membiarkan saja.
Kami benar-benar tenggelam. Mbak Narti kini kutelanjangkan. Tubuhnya
berbaring telentang sambil kakinya menyentuh lantai. Seluruh tubuhnya
cukup menggiurkan. Mukanya berpaling ke sebelah kiri. Matanya terpejam.
Tangannya mendekap kain sprei. Buah dadanya membusung seperti minta
disentuh.
Puting susunya terlihat berair karena liur hisapanku tadi. Perutnya
mulus dan pusarnya cukup indah. Kulihat tidak ada lipatan dan lemak
seperti perut wanita yang telah melahirkan. Memang Mbak Narti tidak
memiliki anak karena dia bercerai setelah menikah 3 bulan. Kakinya
merapat. Karena itu aku tidak dapat melihat seluruh kemaluannya. Cuma
sekumpulan rambut yang lebat halus menghiasi bagian bawah.
Kemudian, tanganku terus membuka kancing bajuku satu-persatu.
ritsluiting jeans-ku kuturunkan. Aku telanjang bulat di hadapan Mbak
Narti. Penisku berdiri tegang melihat kecantikan sosok tubuh Mbak Narti.
Buah dada yang membusung dihiasi puting kecil dan daerah di bulatan
putingnya kemerah-merahan. Indah sekali kupandang di celah pahanya. Mbak
Narti telentang kaku. Tidak bergerak. Cuma nafasnya saja turun naik.
Lalu akupun duduk di pinggir kasur sambil mendekap tubuh Mbak Narti.
Sungguh lembut tubuh mungil Mbak Narti. Kupeluk dengan gemas sambil
kulumat mesra bibir ranumnya. Tanganku meraba seluruh tubuhnya. Sambil
memegang puting susunya, kuremas-remas buah dada yang kenyal itu.
Kuusap-usap dan kuremas-remas. Nafsuku terangsang semakin hebat. Penisku
menyentuh pinggang Mbak Narti. Kudekatkan penisku ke tangan Mbak Narti.
Digenggamnya penisku erat-erat lalu diusap-usapnya.
Memang Mbak Narti tahu apa yang harus dilakukan. Maklumlah dia pernah
menikah. Dibandingkan denganku, aku cuma tahu teori dengan melihat film
BF, itu saja. Tanganku terus mengusap perutnya hingga ke celah
selangkangannya. Terasa berlendir basah di kemaluannya.
Lalu dipegangnya penisku yang sudah tegang dan dimasukkannya ke dalam
mulutnya. Mataku terpejam-pejam ketika lidah Mbak Narti melumat kepala
penisku dengan lembut. Penisku dikulum sampai ke pangkalnya. Sukar untuk
dibayangkan betapa nikmatnya diriku. Bibir Mbak Narti terasa
menarik-narik batang penisku. Tidak tahan diperlakukan begitu aku lalu
mengerang menahan nikmat.
Kubuka lebar-lebar paha Mbak Narti sambil mencari liang vaginanya.
Kusibakkan vaginanya yang telah basah itu. Kujulurkan lidahku sambil
memegang clitorisnya. Mbak Narti mendesah. Kujilat-jilat dengan lidahku.
Kulumat dengan mulutku. Liang kemaluan Mbak Narti semakin memerah. Bau
kemaluannya semakin kuat. Aku jadi semakin terangsang. Seketika kulihat
air berwarna putih keluar dari lubang vaginanya. Tentu Mbak Narti sudah
cukup terangsang, pikirku.
Tubuh kami berhadapan. Tangannya menarik tubuhku untuk rebah bersama.
Buah dadanya tertindih oleh dadaku. Mbak Narti memperbaiki posisinya
ketika tanganku mencoba mengusap-usap pangkal pahanya. Kedua Kaki Mbak
Narti mulai membuka sedikit ketika jariku menyentuh kemaluannya. Lidahku
mulai turun ke dadanya. Putingnya kuhisap sedikit kasar. Punggung Mbak
Narti terangkat-angkat ketika lidahku mengitari perutnya.
Akhirnya jilatanku sampai ke celah pahanya. Mbak Narti semakin membuka
pahanya ketika aku menjilat clitorisnya, kulihat Mbak Narti sudah tidak
bergerak lagi. Kakinya kadang-kadang menjepit kepalaku sedangkan lidahku
sibuk mencari tempat-tempat yang bisa mendatangkan kenikmatan baginya.
Erangan Mbak Narti semakin kuat dan nafasnya pun yang terus mendesah.
Rambutku di tarik-tariknya dengan mata terpejam menahan kenikmatan. Aku
bertanya, “Gimana Mbak rasanya?”, suaraku lembut dan sedikit manja. Dia
tidak menjawab. Dia hanya membuka matanya sedikit sambil menarik napas
panjang. Aku mengerti. Itu bertanda dia setuju. Tanpa disuruh, aku
mengarahkan penisku ke arah lubang vaginanya yang kini telah terbuka
lebar. Lendir dan liurku telah banjir di gerbang vaginanya.
Kugesek-gesekan kepala penisku di cairan yang membanjir itu.
Perlahan-lahan kutekan ke dalam. Tekanan penisku memang agak sedikit
susah. Terasa sempit. Kulihat Mbak Narti menggelinjang seperti
kesakitan.
“Pelan-pelan Den Dikoo!”, Mbak Narti berbicara dengan nafas sesak. Aku
sekarang mengerti. Kemaluan Mbak Narti sudah sempit lagi setelah 6 tahun
tidak disetubuhi, walaupun dia sudah tidak perawan lagi. Memang aku
belum berpengalaman kerena ini merupakan pertama kalinya aku menyetubuhi
seorang wanita walau umurku sudah matang.
Kutekan lagi. Kumasukkan penisku perlahan-lahan. Kutekan punggungku ke
depan. sangat hati-hati. Terasa memang sempit. Lalu Mbak Narti memegang
lenganku erat-erat. Mulutnya meringis seperti orang sedang menggigit
tulang. Hanya sebagian penisku yang masuk. Kubiarkan sebentar penisku
berhenti, terdiam. Mbak Narti juga terdiam. Tenang.
Sementara itu, kupeluk tubuh Mbak Narti dengan gemas sambil memainkan
buah dadanya, menjilat, mengusap dan menggigit-gigit lembut. Mulutnya
kukecup sambil lidahnya kumainkan. Kami memang sudah sangat bernafsu dan
terangsang.
Lalu kemudian aku bertanya dengan suara lembut, “Mau diteruskan…?”.
Mbak Narti membuka matanya. Di bibirnya terlihat senyum manis yang
menggairahkan.
Kutekan penisku ke dalam. Kemudian kutarik ke belakang perlahan-lahan.
Kuhentakkan perlahan-lahan. Memang sempit kemaluan Mbak Narti,
mencengkram seluruh batang penisku. Penisku terasa seperti tersedot di
dalam vagina Mbak Narti. Kami makin terangsang!
Penisku mulai memasuki kemaluan Mbak Narti lebih lancar. Terasa
hangatnya sungguh menggairahkan. Mata Mbak Narti terbuka menatapku
dengan pandangan yang sayu ketika penisku mulai kukeluar-masukkan.
Bibirnya dicibirkan rapat-rapat seperti tidak sabar menunggu tindakanku
selanjutnya.
Sedikit demi sedikit penisku masuk sampai ke pangkalnya. Mbak Narti
mendesah dan mengerang seiring dengan keluar-masuknya penisku di
kemaluannya. Kadang-kadang punggung Mbak Narti terangkat-angkat
menyambut penisku yang sudah melekat di kemaluannya.
Tak terhitung berapa kali aku maju-mundurkan penisku seiring dengan
nafas kami yang tidak teratur lagi. Suatu ketika aku merasakan badan
Mbak Narti mengejang dengan mata yang tertutup rapat. Tangannya memeluk
erat-erat pinggangku. Punggungnya terangkat tinggi dan satu keluhan
berat keluar dari mulutnya secara pelan. Denyutan di kemaluannya terasa
kuat seakan melumatkan penisku yang tertanam di dalamnya.
Goyanganku semakin kuat. Kasur Mbak Narti bergoyang mengeluarkan bunyi
berdecit-decit. Leher Mbak Narti kurengkuh erat sambil badanku rapat
menindih badannya. Ketika itu seolah-olah aku merasakan ada denyutan
yang menandakan air maniku akan keluar. Denyutan yang semakin keras
membuat penisku semakin menegang keras. Mbak Narti mengimbanginya dengan
menggoyangkan pinggulnya.
Goyanganku semakin kencang. Kemaluan Mbak Narti semakin keras menjepit
penisku. Kurangkul tubuhnya kuat-kuat. Dia diam saja. Bersandar pada
tubuhku, Mbak Narti lunglai seperti tidak bertenaga. Kugoyang terus
hingga tubuh Mbak Narti seperti terguncang-guncang. Dia membiarkan saja
perlakuanku itu. Nafasnya semakin kencang.
Dalam keadaan sangat menggairahkan, akhirnya aku sampai ke puncak. Air
maniku muncrat ke dalam kemaluan Mbak Narti. Bergetar badanku saat
maniku muncrat. Mbak Narti mengait pahaku dengan kakinya. Matanya
terbuka lebar memandangku. Mukanya serius. Bibir dan giginya dicibirkan.
Nafasnya terengah-engah. Dia mengerang agak kuat.
Waktu aku memuntahkan lahar maniku, tusukanku dengan kuat menghunjam
masuk ke dalam. Kulihat Mbak Narti menggelepar-gelepar. Dadanya
terangkat dan kepalanya mendongak ke belakang. Aku lupa segala-galanya.
Untuk beberapa saat kami merasakan kenikmatan itu. Beberapa tusukan tadi
memang membuat kami sampai ke puncak bersama-sama. Memang hebat.
Sungguh puas.
Memang inilah pertama kalinya aku melakukan senggama. Mbak Narti lah
wanita pertama yang mendapatkan air perjakaku. Walaupun dia seorang
janda, bagiku dia adalah wanita yang sangat cantik. Waktu kami melakukan
senggama tadi, kami berkhayal entah kemana. Mbak Narti memang hebat
dalam permainannya. Sebagai seorang yang tidak pernah merasakan
kenikmatan persetubuhan, bagiku Mbak Narti betul-betul memberiku surga
dunia.
Aku terbaring lemas di sisi Mbak Narti. Mataku terpejam rapat seolah
tidak ada tenaga untuk membukanya. Dalam hati aku puas karena dapat
mengimbangi permainan ranjang Mbak Narti. Kulihat Mbak Narti tertidur di
sebelahku. Kejadian yang tidak pernah kuimpikan, terjadi tanpa dapat
dielakkan. Mbak Narti juga telentang dengan mata tertutup seperti
kelelahan, mungkin lelah setelah dapat menghilangkan keinginan batinnya
sejak menjanda 4 tahun yang lalu.
Kami masih berpelukan. Kemudian Mbak Narti terasa seperti mengusap
mukaku. Kubuka mataku. Dia tersenyum. Aku tersenyum. Seolah-olah kami
tidak merasa aneh berpelukan tanpa sehelai benang pun di tubuh kami. Dia
mencium bibirku.
Dia berbisik ketelingaku, “Terima kasih ya Den Diko. Mbak…” Belum sempat
dia menghabiskan kata-katanya, aku bertanya, “Mbak puas…?”. Dia
tersenyum dan mengangguk. “Dua kali!”, jawabnya ringkas.
“Den Diko kamu memang hebat, penismu juga besar! Panjang!”, katanya.
Sementara itu ia mengocokkan batang penisku. Suaranya membangkitkan gairahku.
“Mbak suka?”, tanyaku. Dia tersenyum. Dia mengangguk tanda suka. Saat
itu juga tanganku memegang buah dadanya. Tangannya mengocok terus
penisku. Penisku tegang lagi. Kami jadi terangsang lagi.
“Mbak mau lagi?”, tanyaku dengan suara manja. Dia tersenyum manis. Apa
yang kuimpikan kini benar-benar menjadi kenyataan. Perlahan-lahan kubuka
selimutnya. Kulihat kaki Mbak Narti sudah mengejang. Sedikit demi
sedikit terus kutarik selimutnya ke bawah. Segunduk daging mulai
terlihat. Ufff…, detak jantungku kembali berdegup kencang. Kunikmati
kembali tubuh Mbak Narti tanpa perlawanan. Gundukan bukit kecil yang
bersih, dengan bulu-bulu tipis yang mulai tumbuh di sekelilingnya,
tampak berkilat di depanku.
Kurentangkan kedua kakinya hingga terlihat sebuah celah kecil di balik
gundukan bukit Mbak Narti. Kedua belahan bibir mungil kemaluannya
kubuka. Melalui celah itu kulihat semua rahasia di dalamnya. Aku menelan
air liurku sendiri sambil melihat kenikmatan yang telah menanti.
Kudekatkan kepalaku untuk meneliti pemandangan yang lebih jelas. Memang
indah membangkitkan birahi. Tak mampu aku menahan ledakan birahi yang
menghambat nafasku. Segera kudekatkan mulutku sambil mengecup bibir
kemaluan Mbak Narti dengan bibir dan lidahku.
Rakus sekali lidahku menjilati setiap bagian kemaluan Mbak Narti. Terasa
seperti tak ingin aku menyia-nyiakan kesempatan yang dihidangkannya.
Setiap kali lidahku menekan keras ke bagian daging kecil yang menonjol
di mulut vaginanya, Mbak Narti mendesis dan mendesah keenakan. Lidah dan
bibirku menjilat dan mengecup perlahan. Beberapa kali kulihat Mbak
Narti mengejangkan kakinya.
Aku sangat menikmati bau khas dari liang kemaluan Mbak Narti yang
memenuhi relung hidungku. Membuat lidahku bergerak semakin menggila.
Kutekan lidahku ke lubang kemaluan Mbak Narti yang kini sedikit terbuka.
Rasanya ingin kumasukkan lebih dalam lagi, tapi tidak bisa. Mungkin
karena lidahku kurang keras. Tetapi, kelunakan lidahku itu membuat Mbak
Narti beberapa kali mengerang karena nikmat.
Dalam keadaan sudah terangsang, kutarik tubuh Mbak Narti ke posisi
menungging. Ia menuruti permintaanku dan bertanya dengan nada manja.
“Den Diko mau diapakan badan Mbak?”, bisiknya.
Aku rasa dia tak pernah diperlakukan seperti ini oleh suaminya dulu.
Aku diam saja. Kuatur posisinya. Tangannya meremas sprei hingga kusut.
Air mani Mbak Narti sudah membasahi kemaluannya. Kubuka pintu
kemaluannya. Kulihat dan perhatikan dengan seksama. Memang aku tidak
pernah melihat kemaluan wanita serapat itu. Kucium kemaluan Mbak Narti.
Bau anyir dan bau air maniku bercampur dengan bau asli vagina Mbak Narti
yang merangsang. Bau vagina seorang wanita!
Jelas semua! Bulu kemaluan Mbak Narti yang lembab dan melekat berserakan
di sekitar vaginanya. Kusibakkan sedikit untuk memberi ruang.
Kumasukkan jari telunjukku ke dalam lubang vaginanya. Kumain-mainkan di
dalamnya. Kulihat Mbak Narti menggoyang punggungnya. Kucium dan kugigit
daging kenyal punggungnya yang putih bersih itu. Kemudan kurangkul
pinggangnya. Kumasukkan penisku ke liang vaginanya. Pinggang Mbak Narti
seperti terhentak.
Perlahan-lahan kutusukkan penisku yang besar panjang ke lubang vaginanya
dengan posisi Nungging. Tusukanku semakin kencang. Nafsu syahwatku
kembali sangat terangsang. Kali ini berkali-kali aku mendorong dan
menarik penisku. Hentakanku memang kasar dan ganas. Kuraih pinggang Mbak
Narti. Kemudian beralih ke buah dadanya. Kuremas-remas semauku, bebas.
Rambutnya acak-acakan.
Lama juga Mbak Narti menahan lampiasan nafsuku kali ini. Hampir setengah
jam. Maklumlah ini adalah kedua kalinya. Tusukanku memang hebat. Kadang
cepat, kadang pelan. Kudorong-dorong tubuh Mbak Narti. Dia melenguh.
Dengusan dari hidungnya memanjang. Berkali-kali. Seperti orang
terengah-engah kecapaian. “Ehh.. ek, Ekh, Ekh.”
Akirnya aku merasakan air maniku hampir muntah lagi. Waktu itu kurangkul
kedua bahu Mbak Narti sambil menusukkan penisku ke dalam. Tenggelam
semuanya hingga ke pangkalnya. Waktu itulah kumuntahkan spermaku.
Kutarik lagi, dan kuhunjamkan lagi ke dalam. Tiga empat kali kugoyang
seperti itu. Mbak Narti terlihat pasrah mengikuti hentakanku.
Kemudian kupeluk tubuhnya walaupun penisku masih tertancap di dalam
kemaluannya. Kuelus-elus buah dadanya. Kudekati mukanya. Kami berciuman.
Begitu lama hingga terasa penisku kembali normal. Mbak Narti sepertinya
kelelahan. Keringat bercucuran di dahi kami. Kami telentang miring
sambil berpelukan. Mbak Narti terlihat lemas lalu tertidur.
Melihat Mbak Narti begitu, dan hujan masih belum reda, birahiku bangkit
kembali. Kurangkul tubuh Mbak Narti dan aku bermain sekali lagi. Kali
ini Mbak Narti menyerah. Dia tidak menolak. Kumainkan kemaluannya sampai
puas. Bau di kamar ini adalah bau air mani kami. Bunyi tempat tidur pun
berdecit-cit. “Ahh… aaghh.”
Sesudah itu perlahan-lahan aku berdiri dan memakai kembali pakaianku.
Aku keluar dari kamar Mbak Narti menuju ke ruang depan. Sewaktu aku
keluar, barulah aku sadar pintu kamar Mbak Narti tidak tertutup rapat.
Rupa-rupanya kakak iparku sudah pulang. Mendadak aku pucat kalau-kalau
kejadian tadi disaksikan oleh kakak iparku. Aku keluar sambil mencoba
berlagak seperti tidak terjadi apa-apa. Kemudian aku duduk di sofa.
Sebentar kemudian kakak iparku datang membawa minuman. Kulihat mukanya
biasa saja. Kuyakinkan diriku bahwa kakak iparku tidak tahu apa yang
telah terjadi tadi antara aku dengan Mbak Narti.
Aku bertanya, “Abang tidak pulang sama Mbak?”
“Tidak. Dia ke Singapore 4 hari!”, jawabnya. Dia tersenyum.
“Minumlah!”, dia mempersilakanku.
Kemudian dia berjalan menuju ke kamarnya. Aku duduk dan menonton film
“Airforce One”. “Mbak sebentar lagi mau pergi, ambil mobil di sana.
Nanti malam tolong kamu tidur di sini ya, sekilan jaga rumah!”, katanya
pendek.
Memang bagitulah Kalau abangku tidak ada, aku yang jadi sopir kakak
iparku untuk membawa BMW nya ke mana-mana. Malam itu aku tidak pulang.
Tidur di rumah abangku! Memang ada kamar khusus untukku di rumahnya yang
cukup besar itu. Tapi yang lebih spesial lagi bagiku adalah tidur dalam
pelukan Mbak Narti.
TAMAT
No comments:
Post a Comment