KOMPAS.com
- Sungguh sangat mengejutkan tindakan dan sikap sebagian warga
Yogyakarta terhadap Florence Saulina Sihombing. Polda Daerah Istimewa
Yogyakarta menahan pemilik akun Path yang dinilai membuat ucapan
kontroversial, Sabtu (30/8).
Bermula dari kebijakan Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono yang tidak mau menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM), maka Pertamina melakukan pembatasan suplai BBM bersubsidi.
Akibatnya, banyak pengguna kendaraan bermotor di sejumlah provinsi
menjadi kesulitan, terjadi antrean panjang di stasiun pengisian bahan
bakar untuk umum, termasuk di Yogyakarta.
Semua orang kesal harus
antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan tiga atau empat liter premium.
Florence Sihombing, Rabu pekan lalu, di Yogyakarta, tak ingin membeli
premium bersubsidi untuk motornya. Ia hendak mengisi motornya dengan
pertamax 95, dengan menyerobot antrean panjang pengendara mobil. Akan
tetapi, ia tetap tidak diperbolehkan mengisi BBM di sana. Ia lantas
menumpahkan kekesalannya melalui akun Path.
Antara lain di Path
ia menulis, ”Gimana Indonesia bisa maju? Mau aja lo semua diperbudak
keadaan. Tolol sampai 7 generasi. Dan mau-maunya Jogja diperbudak
monopoli Pertamina. Pantesan miskin”.
Komentar ini lantas
tersebar di media sosial, masyarakat Yogyakarta tersinggung, bahkan juga
komunitas akademik di Universitas Gadjah Mada. Karena mendapat reaksi
yang meluas, Florence akhirnya minta maaf. Seharusnya, kalau sudah minta
maaf, warga dan polisi Yogyakarta menghentikan permasalahan, tidak usah
menahan Florence.
Memang, yang cukup melegakan tak semua warga
Yogyakarta marah besar dan melakukan bullying. Paling tidak, masih ada
seniman Butet Kartaredjasa yang risau dengan penahanan tersebut. Dalam
Facebooknya, Butet berpendapat, penahanan Florence malah
kontraproduktif, mencoreng citra kepolisian dan kearifan warga
Yogyakarta.
Keramahan dan rasa persaudaraan warga yang menjadi
roh penegak keistimewaan Yogyakarta sudah luntur. Ironis karena tepat
dua tahun yang lalu, tanggal 31 Agustus 2012, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Budaya Yogyakarta yang istimewa
bukan hanya peninggalan keraton dan kesenian yang tangible ataupun intangible.
Lebih
dari itu adalah sikap warga Yogyakarta yang penuh persaudaraan dan
solidaritas, yang dipelopori Hamengku Buwono IX sejak awal kemerdekaan
Indonesia, tahun 1945. Setelah menyatakan bergabung dengan Republik
Indonesia, tahun 1946 HB IX merelakan Keraton Yogyakarta sebagai tempat
belajar mahasiswa Universitas Gadjah Mada yang belum mempunyai gedung.
Sejak
UGM berdiri, para pejuang dari berbagai suku bangsa, yang kemudian
diikuti dengan anak dan saudara- saudaranya, berdatangan ke Yogyakarta
guna memperdalam ilmu. Melihat kemurahan hati HB IX yang merelakan
Keraton Yogyakarta sebagai tempat kuliah, warga Yogyakarta pun
menyediakan rumah mereka sebagai kos-kosan. Tak jarang lantas terjadi
persaudaraan antara induk semang dan mahasiswa.
Sekali lagi,
kekesalan Florence dengan memaki Yogyakarta tak boleh diulangi, dan dia
sudah minta maaf. Kiranya hal itu sudah cukup. UGM bersama dengan Sultan
HB X serta masyarakat Yogyakarta sebaiknya merevitalisasi roh istimewa
Yogyakarta dengan menyambut permintaan maaf Florence.
No comments:
Post a Comment